20 June 2010

Review: Tanah Air Beta (2010)


- Sukses dengan dua film terdahulunya, Alenia Pictures, yang digawangi oleh Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen, kini merilis Tanah Air Beta. Sama halnya seperti King (2009), Ari Sihasale kini kembali duduk di bangku sutradara. Dari naskah cerita yang ditulis oleh Armantono (Jagad X Code (2009), Opera Jawa (2007)), Tanah Air Beta mencoba menggali sisi drama dari perpisahan provinsi Timor Timur dari Republik Indonesia yang terjadi pada lebih dari satu dekade lalu.

Cerita film ini sendiri berfokus pada Merry (Griffit Patricia), seorang anak perempuan berusia 10 tahun yang setelah perpisahan antara Timor Timur dan Republik Indonesia tinggal di sebuah kamp pengungsian di Kupang, Nusa Tenggara Timur, bersama ibunya, Tatiana (Alexandra Gottardo). Perpisahan politis Timor Timur itu sendiri membuat Merry harus kehilangan Mauro (Marcel Raymond), kakak laki-lakinya yang masih tertinggal di Timor Timur bersama pamannya.


Dalam kesehariannya, kini Tatiana bertugas sebagai seorang pengajar di sebuah sekolah darurat yang didirikan di daerah kamp pengungsian tersebut dan dibantu oleh seorang pengungsi lainnya, Abu Bakar (Asrul Dahlan). Kehidupan yang sangat berat di kamp pengugsian dan di tengah ketidakpastian akan keberadaan anak laki-lakinya, tidak membuat Tatiana menjadi lemah.Ia justru bersemangat untuk mengajarkan anak-anak pengungsi tersebut dengan ilmu pengetahuan mengenai kehidupan.

Secercah harapan mekar kala suatu hari, dari seorang relawan (Lukman Sardi),  Tatiana mendapatkan informasi adanya kemungkinan ia bertemu kembali dengan anak laki-lakinya itu. Bersama Abu Bakar, Tatiana menemui sang relawan untuk mengetahui informasi tersebut lebih lanjut. Namun sayangnya, informasi yang didapat Tatiana ternyata tidaklah semembahagiakan yang ia bayangkan.

Sebenarnya, ada sedikit miskonsepsi di film ini dengan penggunaan judul Tanah Air Beta. Mungkin banyak penonton yang mengira bahwa mereka akan disuguhkan tayangan yang berisi cerita mengenai sifat atau tindakan nasionalisme, seperti yang pernah ditunjukkan lewat film Merah Putih atau Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Sebaliknya, Tanah Air Beta sama sekali tidak menyentuh wilayah tersebut. Film ini adalah sebuah film drama murni dengan latar belakang kisah politis, yang itu pun bahkan tidak terlalu banyak disinggung di sepanjang penceritaannya.

Tanah Air Beta memulai kisahnya dengan cukup memuaskan. Penggambaran yang optimis mengenai kehidupan para pengungsi Timor Timur yang tinggal di Kupang, Nusa Tenggara Timur, melalui cara pandang Tatiana dan Merry sepertinya dapat ditangkap oleh Ari Sihasale dengan sangat baik. Namun, entah mengapa, perlahan-lahan kualitas cerita ini semakin menurun seiring dengan dipertemukannya para karakter utama dengan masalah inti dalam cerita film ini.

Di pertengahan cerita, kisah film ini kemudian beralih kisah secara seluruhnya pada obsesi Merry untuk bertemu dengan sang kakak. Obsesi ini menyebabkan Merry melakukan road trip ke perbatasan Timor Timur ditemani oleh sahabatnya, Carlo (Yahuda Rumbini). Dari titik inilah kemudian Tanah Air Beta mulai terasa kehilangan fokus utamanya. Tidak hanya melupakan karakter-karakter lain yang ada sebelumnya di jalan cerita, Tanah Air Beta entah mengapa kemudian diisi sederetan adegan yang sepertinya sangat (baca: terlalu) berusaha keras untuk membuat penontonnya tertawa. Akhirnya, jalan cerita film ini mulai diisi dengan hal-hal yang terasa kurang masuk akal. Terlebih lagi dengan pemilihan ending yang sangat cheesy (menemukan saudara Anda yang telah lama hilang dengan menyanyikan lagu Kasih Ibu Sepanjang Jalan? Really?), Tanah Air Beta akhirnya malah terasa bagaikan sebuah film yang mendasarkan ceritanya pada sebuah naskah yang belum benar-benar selesai dikerjakan.

Dari departemen akting, Tanah Air Beta sepertinya berusaha mengikuti jejak Laskar Pelangi dengan melakukan casting terhadap aktor-aktor muda yang berasal dari daerah lokasi cerita berlangsung. Sayangnya, tidak seperti Laskar Pelangi, para aktor-aktor muda di Tanah Air Beta sepertinya masih belum melalui masa pelatihan yang cukup. Ini terlihat jelas dengan masih kakunya akting mereka pada banyak adegan. Kualitas akting tersebut, untungnya, berbanding terbalik dengan kualitas akting yang ditunjukkan oleh aktor senior yang ada di film ini. Nama-nama seperti Alexandra Gottardo, Asrul Dahlan, Robby Tumewu, Tessa Kaunang serta Lukman Sardi, dan Ari Sihasale yang tampil sekilas, sepertinya mampu menunjukkan kualitas akting yang mumpuni untuk menghidupkan karakter mereka.

Lemah di bagian inti, Tanah Air Beta justru menunjukkan kapabilitas yang sangat baik di bidang teknis penunjang, khususnya di bagian tata musik dan tata sinematografi. Duo Aksan Sjuman dan Titi Sjuman, yang karya mereka di Minggu Pagi di Victoria Park baru saja dirilis minggu lalu, menunjukkan konsistensi baik mereka dalam film ini dengan mengisi setiap adegan dengan iringan musik yang mampu membawa emosi dari isi cerita.

Mengambil latar belakang lokasi di wilayah Nusa Tenggara Timur, film ini berisi banyak gambar-gambar indah akan kondisi alam daerah tersebut yang dihasilkan oleh Ical Tanjung sebagai sinematografer di film ini. Begitu bagusnya gambar-gambar yang dihasilkan, setidaknya bagi mereka yang tidak begitu menikmati kisah film ini, dapat menikmati pilihan gambar indah akan alam Nusa Tenggara Timur yang menghiasi di sepanjang film ini.

Tanah Air Beta sedikit banyak mengingatkan penonton akan film pertama Alenia Pictures, Denias, Senandung di Atas Awan, yang juga memanfaatkan kisah komunitas masyarakat yang tinggal di Indonesia Timur sebagai fokus utama ceritanya. Sebagai sebuah film sendiri, Tanah Air Beta terasa sebagai sebuah film dengan persiapan yang belum sempurna. Ini terlihat dari sisi naskah cerita yang cenderung menurun drastis kualitasnya di paruh kedua film serta kemampuan akting para aktor muda yang masih seringkali terlihat kaku dalam memerankan karakter mereka. Sebuah usaha yang sangat baik, namun harus diakui gagal dalam eksekusinya.

http://amiratthemovies.wordpress.com/