ARFIANA KHAIRUNNISA, Jogja - Siapa yang tidak kenal Upin dan Ipin saat ini? Dua bocah asal Malaysia itu tampaknya sudah mengambil hati masyarakat Indonesia dengan cerita-ceritanya yang sangat lokal. Namun, bagaimana bocah kembar yang tinggal di Kampung Durian Runtuh ini lahir?
Upin dan Ipin muncul pertama kali ketika Ramadan 2007 di bawah naungan studio Les’ Copaque. Tiga anak muda Malaysia lulusan Universitas Multimedia Malaysia Mohd. Nizam Abdul Razak, Mohd. Safwan Abdul Karim, dan Muhammad Usamah Zaid memutuskan membuat animasi dengan cerita lokal.
Mereka bertiga bertemu dengan Haji Burhanuddin Radzi dan istrinya, Hj. Ainon Ariff yang kemudian membiayai mereka membuat Les’ Copaque.
Kemarin (1/8) di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Muhammad Usamah Zaid, creative director Upin dan Ipin berkesempatan memberikan workshop pada anak-anak Jogja tentang dunia animasi. Ia menceritakan apa itu animasi, bagaimana perusahaan animasi tempat ia bekerja dimulai, bagaimana mendapatkan ide, dan masih banyak hal lain yang ia bagi.
’’Saya dan teman saya setelah lulus dari Universitas Multimedia bekerja sama untuk memproduksi pembuatan 3D. Dan saya bertemu dengan Haji Burhanuddin yang kemudian memberi support pada kami,’’ cerita Zaid, sapaan akrab Muhammad Usamah Zaid.
Mulanya, lanjut Zaid, mereka ingin menceritakan tentang anak-anak kampung, bagaimana kehidupan mereka, kenakalan anak-anak tersebut, dan lain sebagainya. Upin dan Ipin semula bukanlah karakter utama.
’’Mulanya Upin dan Ipin adalah karakter sampingan, bukan karakter utama. Waktu mau buat mini seri belum tahu karakteristiknya bagaimana. Kemudian kami memutuskan Upin dan Ipin ini tinggal dengan Opah, sehingga dia ada yang menjaga karena mereka yatim,’’ kata pria kelahiran 19 Desember 1983 ini.
Sebenarnya Zaid ingin agar si kembar berkepala botak ini memiliki ayah dan ibu. Tapi karena pembuatan animasi ini hampir menyentuh deadline, maka dibuatlah Upin dan Ipin ini sebagai anak yatim.
’’Jadi kami membuat hanya diperlihatkan kuburan orang tua Upin dan Ipin. Tapi mereka kan dijaga Opah, ada Kak Ros juga supaya mereka ada yang mengasuh. Upin dan Ipin pun bukan anak nakal, sehingga penonton pun akan merasa lebih sayang pada mereka karena tidak punya bapak,’’ lanjut Zaid.
Cerita Upin dan Ipin pun berkembang dengan memasukkan unsur multikultur. Beragam teman Upin dan Ipin dari macam-macam suku, seperti India atau China, dengan agama yang berbeda-beda membuat cerita Upin dan Ipin ini semakin kaya.
Rupanya banyak masyarakat yang suka dengan tingkah polah si kembar tersebut. Zaid berpendapat, kesuksesan Upin dan Ipin karena ceritanya yang dekat dengan penonton. Pengalaman-pengalaman yang dibagi yang terdapat pada cerita-ceritanya merupakan pengalaman yang sering pula dialami oleh penonton.
’’Ya mungkin nasib baik juga Upin dan Ipin bisa berjaya. Apalagi setelah Upin dan Ipin ini muncul di televisi, rupanya ada pula yang meng-upload di Youtube. Jadi mereka sangat membantu untuk promosi Upin dan Ipin,’’ kata Zaid.
Zaid mengakui, banyaknya mini seri Upin dan Ipin yang disebarkan melalui dunia maya menjadi rawan pembajakan. Ia juga mengungkapkan adanya kerugian dalam pembuatan animasi ini. Namun Zaid menanggapinya dengan senyum dan percaya karena tujuan pembuatan Upin dan Ipin agar animasi lokal tidak kalah dengan animasi buatan Barat atau Jepang.
Bahkan untuk bisa merangkul lebih banyak penonton Indonesia, Zaid memasukkan karakter Susanti yang merupakan pebulutangkis nasional Indonesia, Susi Susanti.
’’Sambutan animasi Upin dan Ipin di Indonesia sangat baik. Karakter Susanti tersebut merupakan tribute kami pada Indonesia yang kami wakili pada sosok Susi Susanti,’’ kata Zaid yang juga sempat memakai lagu Rasa Sayange asli Ambon untuk scoring animasi ini.
’’Karena lagu tersebut sudah kami dengar sejak kecil, jadi kami juga pakai lagu itu dan lagu itu juga lagu yang dikenal orang Indonesia,’’ kata pria kelahiran Serawak ini.
Untuk Ramadan kali ini, cerita Upin dan Ipin akan lebih dikembangkan lagi. Akan ditambahkan nilai-nilai Islam seperti sunnah Rasul dan lain sebagainya.
Saat ini, penggarapan Upin dan Ipin sudah melibatkan banyak orang. Apalagi salah satu founder Upin dan Ipin tidak bekerja lagi di Les’ Copaque. Untuk membuat satu episode (sekitar 7 mini seri) Upin dan Ipin melibatkan 40-50 orang dalam waktu 1,5 bulan.
’’Kalau untuk ide, meskipun awalnya sama, sekarang semua orang juga terlibat untuk menambahkan ide cerita agar lebih baik lagi,’’ kata Zaid, bangga. ***
radarjogja.co.id