04 February 2017

Serigala Kesepian (Bagian 4)

Oleh : Iska Budiarto, Pecinta Alam


Perjalanan Solo Touring Pacitan - Blitar Via Trenggalek - Tulung Agung

Singgah dalam hutan yang penuh dengan domba dan kelinci adalah hal yang membahagiakan bagi serigala kesepian. Tanpa kelaparan, tanpa kehausan. Sesaat tanpa kekhawatiran dan kegundahan.

Singgah dan menginap beberapa hari di rumah mbak (kakak perempuan), selalu disuguhkan dengan masakan berbagai jenis ikan laut. Hal ini aku anggap sebagai perbaikan gizi untuk nanti melanjutkan solo touring berikutnya.

Memang rumah mbak yang dekat dengan glandang, tidak sulit untuk mencari ikan dengan harga murah, terkadang ada nelayan yang sungkan untuk dibayar ikannya. Bahkan berbagai jenis ikan hampir ada disini, tentu sesuai dengan musimnya.

Setelah beberapa hari singgah dan menginap akupun berpamitan akan melanjutkan solo touring ke kota Blitar, kota asal Presiden pertama Indonesia. Persiapan sudah clear (dipersiapkan) sehari sebelumnya, tak lupa kondisi motor juga sudah siap sempurna.

Dengan mengucap bismillah, berangkat meninggalkan desa Ketawang, tempat mbak bermukim. Pagi hari sekitar pukul tujuh, memasuki jalan lintas selatan. Motor kupacu santai dengan kecepatan 60 km/jam, sembari menikmati pemandangan terakhir di desa Ketawang yamg dikelilingi oleh perbukitan kars itu.

Melihat bar indikator bengsin yang bekedip menandakan bengsin sudah mau habis, aku langsung menuju SPBU Ngadirejo atau tepatnya SPBU 54.635.04. Tidak lama mengantri di pom bengsin karena memang keadaan yang sepi. Setelah isi bengsin full tank dengan jenis RON92 (pertamax) langsung menuju kota Trenggalek.

Memasuki Kabupaten Trenggalek yang sebelumnya tidak pernah melewatinya, aku merasakan atmosfer yang tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Pacitan. Perbukitan kars menghias dengan begitu indahnya. Jalanan yang mulus dengan tanjakan dan turunan serta tikungan menjadikan hiburan yang membuat riding (berkendara) tak terasa jemu. Hingga akhirnya harus memasuki perbatasan Ternggalek - Tulung Agung.

Jalanan Tulung Agung yang lebar, mulus, lurus dan sepi membuat riding menjadi lancar jaya. Terlihat speedometer menunjukkan angka 90 km/jam, terkadang tak terasa kecepatan mencapai 110 km/jam. Tak banyak tikungan dan tanjakan serta turunan yang membuat riding terasa bosan, riding pada top speed (kecepatan tinggi) pun menjadi terasa pelan. Riding pada kondisi seperti ini konsentrasi dan kewaspadaan harus siap siaga, jangan terlena, sesuatu apapun bisa saja terjadi.

Walaupun perjalanan di Tulung Agung hanya kurang lebih sekitar 2 jam perjalanan tetapi terasa sangat lama. Hingga akhirnya memasuki Kabupaten Blitar.

Saat memasuki Kota Patria (Kota Proklamator), kota yang statusnya stabagai gemeente (kotapraja) pada 1 April 1906 berdasarakan peraturan Staatsblad van Nederlandsche Indie No. 150/1906, kota yang terletak 167 km barat daya Surabaya, atau kota yang juga disebut sebagai kota PETA (Pembela Tanah Air) dibawah pimpinan Soeprijadi. Kota yang mempunyai banyak sebutan lainnya sangat terasa aura perjuangannya.

Perjuangan mengusir bangsa Tartar, bangsa dari Mongolia. Sehingga Nilasuwarno, Adipati Aryo Blitar I menamai tanah yang berhasil ia bebaskan dengan nama Balitar yang berarti kembali pulangnya bangsa Tartar.

Konflik demi konflik antara Aryo Blitar I dengan Ki Sengguruh Kinareja yang tak lain adalah patihnya sendiri. Konflik ini terjadi karena Sengguruh ingin mempersunting Dewi Rayung Wulan, istri Aryo Blitar I.

Singkat cerita, Aryo Blitar I lengser dan Sengguruh meraih tahta dengan gelar Adipati Aryo Blitar II. Akan tetapi, pemberontakan kembali terjadi. Perjuangan kembali terjadi. Aryo Blitar II dipaksa turun oleh Joko Kandung, putra dari Aryo Blitar I. Kepemimpinan Joko Kandung dihentikan oleh kedatangan bangsa Belanda. Sebenarnya, rakyat Blitar yang multietnis saat itu telah melakukan perlawanan, tetapi dapat diredam oleh Belanda.



Kota yang secara geografis terletak di sebelah selatan Provinsi Jawa Timur, berada di kaki Gunung Kelud dengan ketinggian 156 meter dari permukaan laut, dan bersuhu udara rata-rata cukup sejuk antara 24°–34° Celsius. Namun pada saat itu kebetulan matahari bersinar sangat terik panas dan gerah memaksaku untuk berhenti di warung soto Lamongan yang berada di trotoar dalam kota untuk mengisi perut yang sudah keroncongan, sebab siang hari enaknya keroncong bukan koplo.

Setelah tenaga pulih sehabis diisi dengan makan soto yang memiliki kalori ±700kal, aku melanjutkan perjalanan menuju Kecamatan Kanigoro. Motor melaju dengan kecepatan rendah karena belum hafal dengan jalanan kota ini walau sebelumnya pernah ke Blitar dengan gerombolan satu mobil. Sangat sulit menemukan plang penunjuk arah di kota ini. Memaksaku harus bertanya beberapa kali pada warga sekitar saat di jalan raya.

Lama mencari hingga tersesat dan bertanya kesana sini akhirnya sampai juga di bundaran/ perempatan Kanigoro. Tempat yang paling saya hafal, sebagai patokan mencari suatu alamat.

Dengan perasaan lega akhirnya aku hampir sampai di desa Satriyan. Desa dimana Pak Lik (Om) bemukim. Dengan keadaan letih karena perjalan yang memakan waktu sekitar tujuh jam perjalanan, motor kulajukan pelan hanya 40 km/jam saja.

Dengan mengucap alhamdulillah dan memanjatkan puji syukur telah diberi keselamatan selama perjalanan akhirnya sampai juga di rumah Pak Lik. (*)

Ikuti serial Serigala Kesepian yang lainnya:

Serigala Kesepian (Bagian 1)
Serigala Kesepian (Bagian 2)
Serigala Kesepian (Bagian 3)
Serigala Kesepian (Bagian 4)


*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab jenthikmanis.blogspot.com

***

Tulisan anda ingin dimuat di kolom OPINI ini? Silahkan hubungi kami.
Kami tunggu tulisan menarik anda.