Keputusannya keluar dari sekolah saat masih berusia 17 tahun sangat disesalkan oleh kedua orang tuanya. Namun, berkat keuletan dan kerja kerasnya, kini ia memiliki 50 pesawat lebih dan pabrik pengolahan ikan yang berkualitas untuk melayani kebutuhan ekspor. Inilah kisah perempuan hebat itu.
Namanya Susi Pudjiastuti, Presiden Direktur PT ASI Pudjiastuti yang bergerak di bidang perikanan dan PT ASI Pudjiastuti Aviation yang merupakan operator penerbangan Susi Air. Rambutnya ikal kemerahan, suaranya serak-serak, namun pembawaannya supel.Tato di betis kanannya seperti berteriak, “Aku bukan perempuan biasa…!”
Dan, memang begitulah dia. “Susi Air” terus membesar. Maskapai dengan pesawat kecil, di bawah 30 penumpang ini, melayani rute yang sulit dan terpencil, antara lain ujung Sumatera, Kalimantan, dan Papua. “Saya membantu merekatkan NKRI dengan cara ini. Pesawat kami mengangkut beras, ayam, juga kabel listrik buat orang di pedalaman Papua,” katanya.
Dalam Buku Surat dari dan untuk Pemimpin terbitan Tempo Institute, Susi banyak memberi pesan. “Menjadi orang dengan pikiran merdeka, itulah saya,” katanya. Dengan berpikir merdeka, dia menepis semua ketakutan, kekhawatiran, juga stereotipe bahwa seseorang tak bisa maju karena ini dan itu. “Saya masuk dunia bisnis yang keras,” katanya kemudian. “Tak bisa tidak, saya harus berpikir merdeka. I can only lead if I have free mind,” katanya.
Kalimat-kalimat bertenaga itu keluar dari sosok Susi, yang tak tamat SMA. Dia drop out di kelas 2 SMA. Bahasa Inggris yang fasih itu pun dia pelajari dari membaca novel.
Bukan hanya bahasa Inggris fasih yang keluar dari mulutnya saat berbincang dengan para pilotnya yang bule. Susi – panggilan akrabnya – juga menggunakan bahasa Sunda dan sesekali bahasa Jawa kepada pembantu-pembantunya.
“Saya suka belajar bahasa apa aja. Yang penting bisa buat marah dan memerintah. Sebab, dengan itu, saya bisa bekerja,” ujarnya sambil lantas tertawa.
Betapa banyak halangan yang sebenarnya bisa saja membatasi geraknya: dia perempuan, tidak berpendidikan tinggi, tumbuh di desa nelayan di Pangandaran, dan bukan pula dari keluarga berada. Tapi, semua itu dia terabas.
Saat ini, wanita kelahiran Pangandaran, 15 Januari 1965 tersebut, memiliki 50 lebih unit pesawat berbagai jenis. Di antaranya adalah Grand Caravan 208B, Piaggio Avanti II, Pilatus Porter, serta Diamond DA 42. Kebanyakan pesawat itu dioperasikan di luar Jawa seperti di Papua dan Kalimantan.
“Ada yang disewa. Namun, ada yang dioperasikan sendiri oleh Susi Air. Biasanya dipakai di daerah-daerah perbatasan oleh pemda atau swasta,” jelas wanita yang betis kanannya ditato gambar burung phoenix dengan ekor menjuntai itu.
Susi tak mematok harga sewa pesawat secara khusus. Sebab, hal itu bergantung pelayanan yang diminta pihak penyewa. Biaya sewanya pun bermacam-macam, tapi rata-rata antara USD 400 sampai USD 500 per jam.
“Kadang ada yang mau USD 600 sampai USD 700 per jam. Perusahaan minyak mau bayar USD 1.000 karena beda-beda level servis yang dituntut. Untuk keperluan terbang, semua piranti disediakan Susi Air. Pesawat, pilot, maupun bahan bakar. Jadi, itu harga nett mereka tinggal bayar,” tegasnya.
Bakat bisnis Susi terlihat sejak masih belia. Pendirian dan kemauannya yang keras tergambar jelas saat usia Susi menginjak 17 tahun. Dia memutuskan keluar dari sekolah ketika kelas II SMA. Tak mau hidup dengan cara nebeng orang tua, dia mencoba hidup mandiri. Tapi, kenyataan memang tak semudah yang dibayangkan.
“Cuma bawa ijazah SMP, kalau ngelamar kerja jadi apa saya. Saya nggak mau yang biasa-biasa saja,” ujarnya.
Kerja keras pun dilakoni Susi saat itu. Mulai dari berjualan baju, bed cover, hingga hasil-hasil bumi seperti cengkeh. Setiap hari, Susi harus berkeliling Kota Pangandaran menggunakan sepeda motor untuk memasarkan barang dagangannya. Hingga, dia menyadari bahwa potensi Pangandaran adalah di bidang perikanan. “Mulailah saya pengen jualan ikan karena setiap hari lihat ratusan nelayan,” tuturnya.
Pada 1983, berbekal Rp 750 ribu hasil menjual perhiasan berupa gelang, kalung, serta cincin miliknya, Susi mengikuti jejak banyak wanita Pangandaran yang bekerja sebagai bakul ikan. Tiap pagi pada jam-jam tertentu, dia nimbrung bareng yang lain berkerumun di TPI (tempat pelelangan ikan). “Pada hari pertama, saya hanya dapat 1 kilogram ikan, dibeli sebuah resto kecil kenalan saya,” ungkapnya.
Tak cukup hanya di Pangandaran, Susi mulai berpikir meluaskan pasarnya hingga ke kota-kota besar seperti Jakarta. Dari sekadar menyewa, dia pun lantas membeli truk dengan sistem pendingin es batu dan membawa ikan-ikan segarnya ke Jakarta. “Tiap hari, pukul tiga sore, saya berangkat dari Pangandaran. Sampai di Jakarta tengah malam, lalu balik lagi ke Pangandaran,” ucapnya mengenang pekerjaan rutinnya yang berat pada masa lalu.
Meski sukses dalam bisnis, Susi mengaku gagal dalam hal asmara. Wanita pengagum tokoh Semar dalam dunia pewayangan itu menyatakan sudah tiga kali menikah. Tapi, biduk yang dia arungi bersama tiga suaminya tak sebiru dan seindah Pantai Pangandaran. Semua karam.
Dari suaminya yang terakhirlah, Christian von Strombeck, si Wonder Woman ini mendapat inspirasi untuk mengembangkan bisnis penerbangan. “Dia seorang aviation engineer,” lanjutnya.
Christian merupakan seorang ekspatriat yang pernah bekerja di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara yang sekarang bernama PT DI, Red). Awal perkenalannya dengan lelaki asal Prancis itu terjadi saat Christian sering bertandang ke Restoran Hilmans milik Susi di Pantai Pangandaran. Berawal dari perkenalan singkat, Christian akhirnya melamar Susi. “Restoran saya memang ramai. Sehari bisa 70-100 tamu,” katanya.
Dengan Christian, Susi mulai berangan-angan memiliki sebuah pesawat dengan tujuan utama mengangkut hasil perikanan ke Jakarta. Satu-satunya jalan, lanjut Susi, adalah dengan membangun landasan di desa-desa nelayan. “Jadi, tangkap ikan hari ini, sorenya sudah bisa dibawa ke Jakarta. Kan cuma sejam,” tegas ibu tiga anak dan satu cucu tersebut.
Berbeda jika harus memakai jalur darat yang bisa memakan waktu hingga sembilan jam. Sesampai di Jakarta, banyak ikan yang mati. Padahal, jika mati, harga jualnya bisa anjlok separuh.
“Kami mulai masukin business plan ke perbankan pada 2000, tapi nggak laku. Diketawain sama orang bank dan dianggap gila. ‘Mau beli pesawat USD 2 juta, bagaimana ikan sama udang bisa bayar,’ katanya,” ujar Susi.
Barulah pada 2004, Bank Mandiri percaya dan memberi pinjaman sebesar USD 4,7 juta (sekitar Rp 47 miliar) untuk membangun landasan, serta membeli dua pesawat Cessna Grand Caravan. Namun, baru sebulan dipakai, terjadi bencana tsunami di Aceh. “Tanggal 27 kami berangkatkan satu pesawat untuk bantu. Itu jadi pesawat pertama yang mendarat di Meulaboh. Tanggal 28 kami masuk satu lagi. Kami bawa beras, mi instan, air dan tenda-tenda,” ungkapnya.
Awalnya, Susi berniat membantu distribusi bahan pokok secara gratis selama dua minggu saja. Tapi, ketika hendak balik, banyak lembaga non-pemerintah yang memintanya tetap berpartisipasi dalam recovery di Aceh. “Mereka mau bayar sewa pesawat kami. Satu setengah tahun kami kerja di sana. Dari situ, Susi Air bisa beli satu pesawat lagi,” jelasnya.
Perkembangan bisnis sewa pesawat miliknya pun terus melangit. Utang dari Bank Mandiri sekitar Rp 47 miliar sekarang tinggal 20 persennya. “Setahun lagi selesai. Tinggal tiga kali cicilan lagi. Dari BRI, sebagian baru mulai cicil. Kalau ditotal, semua (pinjaman dari perbankan) lebih dari Rp 2 triliun. Return of investment (balik modal) kalau di penerbangan bisa 10-15 tahun karena mahal,” katanya.
Susi tak hanya mengepakkan sayap di bisnis pesawat dan menebar jaring di laut. Sekarang, dia pun merambah bisnis perkebunan. Meski begitu, dia mengakui ada banyak rintangan yang harus dilalui. “Perikanan kita sempat hampir rugi karena tsunami di Pagandaran pada 2005. Kami sempat dua tahun nggak ada kerja perikanan,” tuturnya.
Susi memang harus mengutamakan para pembeli ikannya, karena mereka sangat sensitif terhadap kesegaran ikan. Sekali angkut dalam satu pesawat, dia bisa memasukkan 1,1 ton ikan atau lobster segar. Pembelinya dari Hongkong dan Jepang setiap hari menunggu di Jakarta. “Bisnis ikan serta lobster tetap jalan dan bisnis penerbangan akan terus kami kembangkan,” katanya penuh optimisme.
Mimpi yang Terus Hidup
“Mimpi bukan sekadar bunga tidur.” Inilah kredo yang tak sengaja terlontar dari Susi.Sepotong mimpi adalah angan-angan, yang dengan doa, menjadi cita-cita yang menyihir rasa, memukau untuk dikejar dan dijangkau.
Susi bercerita, pada pembelian pesawatnya yang ke-30, para petinggi industri pesawat di Amerika Serikat memperlakukannya bak seorang ratu.
Mimpi Susi sejak sekitar 40 tahun silam adalah punya montor mabur (pesawat terbang), yang sesekali ia saksikan melintas terbang tinggi, jauh di atas petak kebun kelapa milik ayahnya. “Montor mabur, montor mabuuur…! Bagi duiiit…!”
Begitulah Susi kecil selalu berteriak-teriak gembira, baik ketika ia sendirian atau saat main bersama teman-teman sebayanya, tiap kali melihat montor mabur melintas di udara pesisir Pangandaran, Ciamis Selatan, Jawa Barat, kampung halamannya.
‘Mimpi’ anak petani kelapa itu juga kerap terbawa tidur, ke alam mimpi sebenarnya, di mana ia sering merasa terbang dengan pesawat miliknya sendiri ke mana ia suka. Bahkan, ia merasa kerap nyetir pesawat sendiri. Mimpi yang menurut ibunya, Hajjah Suwuh Lasminah, amat nyeleneh!
“Lha, wong, anak desa, kok, mimpi punya montor mabur!” celetuk ibunya, sambil mesem ke arah Susi, awal Desember lalu, di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Susi balas tersenyum seraya menyodorkan sekaleng minuman kepada sang ibu, lalu duduk sambil memijat-mijat punggung wanita berkerudung itu.
Susi menyimpan mimpinya itu hanya untuk dirinya. Tetapi, tak jarang angan-angan itu terkuak juga. Sering tanpa sadar ia bergumam, “Kapan, ya, aku punya kapal terbang, biar bisa keliling dunia…?” Gumam kerap ditertawakan teman sepermainan. Susi tak marah. Dalam gumaman itu seakan ia terus memupuk cita-citanya.
Di sekolah, saat pelajaran menggambar, sering tanpa sadar ia membentuk gambar pesawat. Lucunya, dalam pesawat itu, dia memenuhinya dengan gambar ikan-ikan dalam keranjang. Gurunya sering heran dan berucap, “Pesawat terbang mahal-mahal, kok, dimuati keranjang ikan? Bau amis, atuuuh…!” kenang Susi, menirukan kritik gurunya.
Entah apa ada hubungan alam bawah sadar antara gambar pesawat di angkasa kampungnya, dengan ikan-ikan tangkapan nelayan yang sehari-hari dilihatnya? Susi hanya mesem saja. Yang pasti, mimpi anak pantai yang tak masuk akal itu terwujud ketika ia berhasil membeli pesawat pertamanya.
“Rasanya begitulah kehendak Gusti Allah untuk saya. Kalau saja saya terus sekolah, lulus SMA, lalu kuliah di perguruan tinggi, pastilah cerita hidup saya akan berbeda,” katanya. (Res)