Ketika Walt Disney Pictures pertama kali mengumumkan rencananya bekerjasama dengan Jerry Bruckheimer untuk mengubah salah satu theme park di Disneyland menjadi sebuah film, tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa Pirates of the Caribbean akan menjadi sebuah film yang selain menyenangkan untuk dilihat, juga memberikan keuntungan luar biasa bagi rumah produksi tersebut. Sekarang, Disney dan Bruckheimer kembali bekerjasama untuk memberikan sebuah petualangan baru bagi para penontonnya. Kali ini, bukan untuk menggubah sebuah theme park, melainkan sebuah permainan video game populer, Prince of Persia.
Untuk menangani film pertama adaptasi video game Prince of Persia, yang diberi judul Prince of Persia: The Sands of Time, Disney memilih Mike Newell untuk duduk di kursi sutradara. Walaupun lebih banyak dikenal untuk karyanya di film-film drama romantis seperti Four Weddings and a Funeral dan Mona Lisa Smile, Newell bukanlah seorang yang asing dalam menangani genre fantasy adventure. Hasil solid yang ia tunjukkan ketika mengadaptasi Harry Potter and the Goblet of Fire mungkin adalah alasan mengapa Disney yakin untuk memilih Newell.
Hasilnya, Prince of Persia: The Sands of Time muncul sebagai sebuah film yang cukup menyenangkan. Walau tidak semeyakinkan Pirates of the Caribbean: The Curse of the Black Pearl, namun Newell berhasil menciptakan sebuah adaptasi video game yang kualitasnya cukup memuaskan dari kualitas film-film adaptasi video game yang selama ini beredar di Hollywood.
Filmnya sendiri mengisahkan mengenai Prince Dastan (Jake Gyllenhaal) yang dituduh membunuh ayahnya, King Sharaman (Ronald Pickup), dengan cara meracuninya. Dastan sendiri tentu saja membantah tuduhan tersebut. Baginya, adalah tidak mungkin untuk membunuh seorang pria yang telah mengangkatnya dari jalanan dan memberikannya kehidupan serta keluarga yang layak dimana ia dibesarkan selama ini. Sayangnya, semua orang tidak dengan mudah percaya akan hal ini, termasuk dua saudaranya, Tus (Richard Coyle) dan Garsiv (Toby Kebbell), keturunan asli sang raja yang akan meneruskan tahtanya.
Bersama dengan Princess Tamina (Gemma Arterton), puteri dari kota suci Alamut yang baru saja berhasil diserang Dastan dan saudara-saudaranya, Dastan melarikan diri dari kejaran pasukan kerajaan Persia. Dastan sendiri kemudian menemukan bahwa Tamina hanya mengikutinya untuk merebut sebuah belati yang mampu memutarbalikkan waktu, yang ia temukan ketika ia melakukan penyerangan ke kota Alamut. Lewat belati itu pula, Dastan mencurigai saudaranya, Tus, yang berada di balik pembunuhan sang ayah, merebut tahta sekaligus mencari belati tersebut untuk memperkuat kekuasaannya nanti. Kini, Dastan mencoba untuk menghubungi Nizam (Ben Kingsley), adik Sharaman yang dianggap Dastan sebagai satu-satunya orang yang dapat dipercaya, untuk menjelaskan semua kejadiannya.
Berbeda dengan Harry Potter and the Goblet of Fire yang ia arahkan sebelumnya, Prince of Persia: The Sands of Time sama sekali tidak menawarkan kekompleksitasan, baik dari sisi naskah cerita maupun dari tiap karakter yang ada di dalamnya. Penonton, sekalipun awam terhadap video game Prince of Persia, mungkin sudah dapat menebak bagaimana film ini akan berjalan, termasuk siapa tokoh antagonis yang akan dibuka di dalam jalan cerita film ini. Namun kesederhanaan inilah yang membuat Prince of Persia: The Sands of Time lebih mudah dinikmati.
Tidak seperti adaptasi video game lainnya yang seperti berusaha terlihat pintar dengan menambah banyak cabang cerita di tengah jalan cerita utama filmnya, Prince of Persia: The Sands of Time murni hanya berfokus pada jalan cerita mengenai usaha Dastan untuk membersihkan namanya. Dengan sesekali menyelipkan lembaran kisah romansa – yang juga sepertinya sudah dapat ditebak akan terjadi – antara Dastan dan Tamina, jalan cerita film ini terlihat cukup membumi, menyenangkan, dan dapat dinikmati siapa saja walau, seperti halnya Iron Man 2, di bagian pertengahan menemui sedikit masalah ketika film ini telah memaparkan seluruh masalah yang ada, namun berusaha memberikan jembatan cerita sebelum memberikan penyelesaian seluruh masalah.
Sebagai Prince Dastan, Jake Gyllenhaal terlihat cukup meyakinkan dalam memainkan karakternya. Walaupun image sebagai aktor serius sepertinya masih sulit dihilangkan dari dirinya, namun Gyllenhaal terlihat mampu bersenang-senang atas perannya yang ‘tidak begitu serius’ dan kompleks ini. Gemma Arterton dan Alfred Molina mungkin adalah dua pemeran yang paling sering mencuri perhatian di film ini. Arterton, selain dari wajah cantiknya, tentu saja, dibekali dengan banyak dialog-dialog lucu dan tajam di sepanjang film ini. Arterton berhasil membawakan hal tersebut dengan sangat baik dan membuat karakternya menjadi menonjol, sekaligus mempererat chemistry yang ia ciptakan bersama Gyllenhaal.
Sementara itu, salah satu aktor senior paling berbakat dari Inggris, Alfred Molina, lagi-lagi berhasil mencuri perhatian di setiap adegan dimana karakternya berada. Berperan sebagai Sheik Amar, seorang pengusaha yang sangat membenci kebijakan pajak kerajaan Persia, ia berhasil mengeluarkan daya tariknya lewat dialog-dialog dan tingkah yang berada di persimpangan antara jenaka dan sedikit bodoh. Molina berhasil memberikan hiburan tersendiri setiap ia berada di dalam adegannya.
Secara keseluruhan, Prince of Persia: The Sands of Time tidaklah menawarkan sesuatu yang luar biasa. Jalan cerita film ini, yang sederhana namun beberapa kali terasa sedikit melelahkan, bukanlah sebuah kekuatan utama dari film ini. Walau begitu, di bawah arahan Mike Newell, film ini berhasil menjadi film yang sangat menghibur dengan memaksimalkan kekuatan yang ada. Kekuatan ini muncul dari solidnya penampilan para jajaran pemeran yang ada sekaligus pemanfaatan special effect yang cukup mempesona di beberapa bagian film. Walaupun bukanlah sebuah film yang akan lama diingat banyak orang, Prince of Persia: The Sands of Time terbukti cukup menghibur dan memiliki kualitas yang jauh di atas film-film hasil adaptasi video game lainnya.
source : http://amiratthemovies.wordpress.com/