16 November 2016

Bertemu Amazing

Tags



Angin malam berhembus begitu kencang di kota Nganjuk bagian timur: Kertosono, saat itu. Suasana seperti itu merupakan hal yang lumrah.

Karena Nganjuk diapit diantara dua gunung, yaitu Gunung Wilis dan pegunungan Kendeng yang membuat kota ini memiliki hembusan angin yang sangat kuat. Karena hal ini pulalah kota itu dijuluki kota angin.

Langit malam yang menjelang dini hari saat itu tampak cerah. Udara dingin pun menyeruak sampai ketulang sumsum. Nganjuk malam itu tak seperti biasanya, yang sedikit panas dan gerah. Malam ini berbeda, terasa sangat dingin sekali.

Saya datang ke kota ini sudah tak terhitung jumlahnya. Dulu, satu bulan sebelum dan dua bulan sesudah Amazing lahir, setiap seminggu sekali, selama tiga bulan saya sering pulang pergi Yogya - Kertosono.

Saya lebih memilih perjalanan menggunakan bus malam. Biasanya, Sabtu malam dari Yogya, kemudian Minggu malam dari Kertosono. Begitu terus selama tiga bulan.

Tapi, selama dua tahun terakhir ini, tarif bus yang sering saya tumpangi itu masih tetap sama, tak berubah. Karena seringnya saya menumpang bus ini pula, saya jadi tahu dangdut koplo keluaran terbaru, dan kelak lagu-lagu tersebut menjadi populer saat itu.

Karena itu, saat Amazing tepat berusia dua bulan, ia langsung kami boyong ke Yogya. Kami merawat Amazing sendiri, tanpa campur tangan orang tua. Walaupun sesekali orang tua dan mertua saya menengok kami di Yogya, tapi itu hanya satu atau dua hari saja.

Semenjak istri saya mengandung Amazing, saya memutuskan supaya istri saya berhenti bekerja dan bertekad untuk mengurus anak kami. Jadilah kami pasangan muda yang pontang-panting karena tingkah polah Amazing.

Tentu saja apa yang dilakukan istri saya tidak bisa diperbandingkan dengan saya. Terlebih saat saya ada pekerjaan lembur atau pekerjaan diluar kota. Ia akan lebih kerepotan.

Dengan energi dan tingkah polah yang luar biasa, Amazing selalu membuat kami ngos-ngosan, kewalahan. Namun semua itu bisa terbayar karena kami bisa mengetahui perkembangan Amazing setiap saat, setiap waktu.

Seorang guru saya pernah memberikan nasehat, "Kalau kamu bisa, kamu boleh kehilangan apapun itu, kesempatan, karir atau uang. Tapi jangan sampai kamu kehilangan waktu untuk anakmu paling tidak sampai dia berumur 6 tahun. Begitu kamu kehilangan waktu bersama dia di rentang usia itu, kamu akan makin banyak kehilangan. Segalanya berlalu makin cepat." Tuturnya.

Malam itu saya baru saja turun dari bus malam patas Yogya - Surabaya. Hawa dingin AC bus malam masih sangat terasa di telinga. Malam itu perjalanan terasa sangat cepat. Hanya butuh waktu empat jam perjalanan saja. Normalnya kalau memakai angkutan umum semacam bus, bisa mencapai enam jam.

Sesampainya di rumah Kertosono, udara dingin masih saja mencumbu di leher dan juga telinga. Benar-benar Nganjuk dini hari yang sangat dingin sekali.

Malam itu, saya berencana menjemput Amazing dan istri saya di rumah simbahnya. Sudah hampir dua pekan ini mereka berada disini, untuk mengurus pembuatan KTP Elektronik.

Istri saya rupanya sudah bangun, tapi tidak untuk Amazing. Saat saya datang dini hari itu, ia terlihat masih nglempus, damai betul tidurnya.



Saking rindunya saya dengan bocah berumur duapuluh bulan itu, seketika ia saya bangunkan. Kelopak matanya masih lengket, seakan malas untuk melek.

Namun ia tersadar, bahwa seseorang yang membangunkannya ialah bapaknya. Dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, ia langsung memeluk saya dan berkata "Bapaaaaak...", lalu ia mencium saya.

Seketika itu ia langsung mendheles, bregas, kemlinthi. Lari kesana kemari, menjatuhkan tubuh mungilnya ke kasur, lalu bangun lagi, dijatuhkan lagi, begitu terus. Seakan ia sedang memamerkan kemampuannya. Udara dingin yang sedari tadi menyeruak di ruangan itu berubah menjadi hangat karena menyaksikan tingkah Amazing.

Sesaat, tiba-tiba ia seperti teringat sesuatu. Ia menggeledah tas ransel yang saya bawa. Ia mencari mobil-mobilan dan buku bacaannya: Isidore, yang memang saya janjikan akan saya bawa kalau hendak kemari.

Setelah ia menemukan kedua benda itu, ia tampak bungah, sumringah. Sesederhana itu.

Lagi lagi, udara dingin dini hari di ruangan itu semakin hangat saja dengan menyaksikan senyum lepas sumringah bocah dengan memakai kaos singlet itu.

Belakangan saya tahu, udara dingin yang menyeruak menusuk pori-pori itu berasal dari mesin penyejuk ruangan dengan kapasitas 1.5 PK merek Sharp yang dipasang di salah satu sudut ruangan tersebut. Trondolo manuk alas.

Mungkin lain kali saya akan nyicil membeli jaket bomber asal Spanyol dengan merek Zara, jaket yang dikenakan Jokowi saat konferensi pers berkaitan dengan tragedi empat sebelas itu, agar hawa dingin tidak begitu merasuk kedalam tulang sumsum.

Tentunya saya akan mengangsur dengan sistem syariah, supaya saya terbebas dari riba. Atau malah sampeyan punya kenalan penjual jaket yang bisa di cicil tapi bebas bunga?

***

~ Turut prihatin atas kepergian Intan Olivia, bocah berusia tiga tahun, karena ledakan bom di depan Gereja Oikumene, Samarinda akhir pekan lalu itu ~