22 July 2010

Perjuangan Pilu Janda Pejuang

MATA kita menyaksikan sebuah drama memilukan yang disuguhkan media hampir tiap hari akhir-akhir ini. Dua janda sepuh berusia 78 tahun duduk sebagai terdakwa di Pengadilan Jakarta Timur.

Keduanya, Soetarti dan Roesmini, janda pejuang yang jasad suami mereka dimakamkan di tempat terhormat, Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pengadilan Jakarta Timur menyidangkan kedua janda itu dengan tuduhan menguasai rumah milik Perum Pegadaian secara tidak sah. Padahal, mereka sudah mendiami rumah itu puluhan tahun sejak suami mereka masih hidup.

Rupanya cerita pilu atas kasus rumah Perum Pegadaian tidak saja menimpa Soetarti dan Rusmini. Satu janda lagi, Timoria Manurung, 73, janda pensiunan perusahaan milik negara, juga duduk di kursi pesakitan PN Jakarta Timur dengan tuduhan sama.

Drama pilu tiga janda itu menggores nurani. Mereka di usianya yang sangat tua mulai letih oleh proses pengadilan yang rumit dan panjang. Padahal, tuntutan terhadap ketiganya, bila terbukti dalam vonis 27 Juli nanti, cuma dua bulan penjara!

Terhadap ketiga janda itu kita mempertontonkan kebekuan kolektif nurani seolah-olah kita tidak berdaya semuanya. Yang berkuasa dan memiliki otoritas lumpuh. Solidaritas kolektif sebagai bangsa yang membanggakan budaya menolong sesama juga senyap.

Ketiga janda itu dengan segala kemampuan yang tersisa coba menggugah kepedulian sesama. Sudah dua kali mereka bertiga melakukan aksi diam selama 65 menit di Monumen Nasional dengan muka menghadap Kantor Presiden, di seberang jalan. Dari tempat mereka beraksi itu beberapa kali terlihat rombongan Presiden dengan pengawalan ketat hilir mudik.

Presiden SBY, seperti dalam banyak kasus hukum yang mengusik nurani, mengatakan tidak bisa mengintervensi pengadilan. Sebagai negara yang sedang berjuang sekuat tenaga menegakkan supremasi hukum, posisi berdiri seperti itu patut dihargai.

Namun yang menjadi perkara besar adalah, apakah ketidakbolehan mencampuri urusan pengadilan lalu mengubur seluruh kreativitas nurani terhadap ketiga janda itu? Toh sesungguhnya masih tersedia ruang cukup luas bagi inisiatif menolong ketiga janda itu di luar intervensi terhadap pengadilan.

Apa yang diperlukan oleh ketiga janda itu? Tidak lain adalah sebuah rumah tempat berteduh menikmati sisa hidup mereka. Apakah pemerintah tidak mampu, misalnya, memberi ketiga janda itu rumah yang layak?

Perum Pegadaian juga sama. Apakah rumah ketiga janda itu begitu krusial bagi kelangsungan hidup perum sehingga bila tidak diambil perusahaan milik negara itu akan bangkrut dan menyengsarakan bangsa dan negara?

Nurani publik juga perlu digugah. Apakah kita semua menjadi penonton drama tiga janda yang memilukan itu? Kalau terhadap Prita Mulyasari solidaritas sosial muncul lewat gerakan 'koin untuk Prita', mengapa terhadap mereka bertiga nurani kita begitu tumpul?

Inilah sekelumit pertanyaan risau dari drama pilu tiga janda yang sedang dirundung malang dalam kasus rumah Perum Pegadaian. Apakah kita semua juga menggadaikan solidaritas sehingga hanya menonton dalam kebisuan?

http://www.mediaindonesia.com/