Siapakah insan film yang tidak ingin berkecimpung di Hollywood? Rasanya hampir tidak ada. Hollywood adalah simbol kebesaran dalam industri film internasional, dan setiap insan film dari seluruh dunia berlomba-lomba untuk berkiprah di dalamnya.
Bagi kebanyakan orang, masuk Hollywood masih sebatas mimpi. Namun tidak bagi Livi Zheng, sutradara muda berbakat asal Blitar, Jawa Timur, yang telah merambah Hollywood sejak usia muda. Perempuan kelahiran 3 April 1989 itu baru saja merilis film perdananya yang berjudul 'Brush with Danger.'
“Sekarang film itu masih diputar di bioskop-bioskop mainstream di Amerika. Film itu juga masuk ke dalam daftar film yang dipertimbangkan dalam penilaian Academy Awards (Oscars) tahun depan,” kata Livi dalam perbincangan santai dengan detikcom, Senin (3/11/2014).
Akhir pekan lalu Livi yang tinggal di Los Angeles ini menghadiri pemutaran film perdananya yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni UI (ILUNI) di Washington DC. Dalam film bergenre action itu, Livi bertindak selaku sutradara, produser, sekaligus pemain.
Film itu bercerita tentang dua orang kakak beradik dari Tiongkok yang masuk ke AS secara ilegal. Sang kakak bernama Qiang Alice (diperankan oleh Livi) dan sang adik bernama Qiang Ken (diperankan oleh Ken Zheng, adik kandung Livi). Di negeri Paman Sam, mereka mencari nafkah dengan berjualan lukisan karya Alice. Jalan hidup membawa mereka ke dalam cengkeraman seorang penjahat kelas kakap yang bisnisnya adalah memalsukan lukisan karya-karya pelukis ternama dunia.
“Inspirasi film ini dari teman saya orang Ethiopia yang punya cerita hidup menyedihkan. Dia melarikan diri dari perang di negaranya dan pergi ke Amerika untuk melanjutkan hidupnya. Di sana dia bekerja keras dan berjuang agar bisa membawa kekasihnya ke Amerika. Namun setelah dia punya uang, ternyata perempuan yang dia cintai sudah menikah dengan orang lain,” tutur Livi.
Livi mengawali kariernya di dunia film dari nol. Semua bermula ketika pada umur 18 tahun dia hijrah dari Beijing, tempat dia sekolah SMA dan belajar wushu selama 3 tahun, ke Amerika. Di sana, Livi yang berprofesi sebagai atlet beladiri kerap mengikuti lomba Karate dan meraih banyak mendali. Keterampilan bela dirinya itu pula lah yang membawa Livi ke dalam dunia film.
Sebelum menjadi sutradara, Livi terlibat sebagai kru dan pemeran pengganti (stundwoman). Dari situ dia belajar segalah hal tentang film, mulai dari cara memproduksi hingga cara bermain peran. Berkat bakat dan ketekunannya dalam belajar secara otodidak, akhirnya Livi bisa memproduksi sendiri filmnya.
Tidak mudah tantangan yang harus dia hadapi untuk berkiprah di Hollywood. Sebagai seorang pemula, Livi harus bisa meyakinkan mitra-mitranya bahwa dia serius dan mampu memproduksi film. Apalagi, mitra dia adalah orang-orang yang sudah memiliki jam terbang tinggi di industri perfilman Hollywood.
“Awalnya mereka meragukan saya karena saya masih muda dan orang Asia pula. Ditambah lagi saya perempuan. Di sini kan industri film didominasi laki-laki. Setiap kali ketemu orang saya selalu ditanya mana sutradaranya. Padahal ya saya ini sutradaranya,” ujar Livi tertawa.
Sebelumnya Livi memang tidak pernah belajar secara formal tentang film. Kuliah S1-nya adalah jurusan ekonomi di Washington University, Seattle. Paling-paling dia mengambil kursus-kursus singkat mengenai film.
“Tapi sebenarnya saya lebih banyak belajar dari melihat lokasi syuting. Dari sana kita belajar banyak hal yang tidak bisa dipelajari di kelas,” katanya.
Berkat upaya gigihnya, lama-kelamaan Livi bisa meyakinkan para mitranya supaya bersedia memproduksi film bersamanya. Terlebih kini setelah Livi menghasilkan karya nyata yang bisa menjadi bukti keseriusan dan kemampuannya. “Sekarang sudah jauh lebih mudah karena orang sudah melihat hasilnya,” ujarnya.
Bergulat di persaingan industri film Hollywood tentunya bukan perkara mudah. Persaingan sangat ketat, dan pemain baru muncul seperti gelombang air yang setiap saat dapat menggantikan pemain lama. Oleh karena itu, Livi dituntut untuk bekerja ekstra keras agar tetap eksis.
“Di sini banyak sekali orang yang bekerja di industri film. Kalau kita nggak bekerja keras, setiap saat kita bisa digantikan oleh orang lain,” ucap mahasiswi S2 jurusan sutradara di University of Southern California (USC) ini.
Setelah 'Brush with Danger', Livi akan merilis film keduanya tahun depan. Film itu berkisah tentang dua saudara yang dikaruniai indra keenam dan mengalami jalan hidup yang pahit lantaran kelebihan yang mereka punyai. Genre-nya masih tetap, yaitu film action dengan konten beladiri. Saat ini proses syutingnya sudah selesai dan tinggal menyelesaikan produksi.
“Sebenarnya untuk film kedua ini kita ingin syuting di Indonesia. Saya sudah bawa produser ke Jakarta untuk melihat lokasi. Tapi karena ada berbagai kendala di sini, akhirnya diurungkan,” tutur Livi.
Bagi Livi, Indonesia tidak hanya menjadi tanah kelahirannya, tetapi juga salah satu sumber inspirasi. Antara lain, dia memasukkan unsur gamelan dalam musik di filmnya. Dia juga mengaku antusias untuk melakukan syuting di Indonesia dan berkolaborasi dengan inisan film tanah air.
“Indonesia itu keren banget buat syuting, kaya dengan budaya dan pemandangan indah. Mudah-mudahan saya bisa melakukan syuting di Indonesia,” ujar Livi dengan antusias.